Pengertian Nalar dan Penalaran
Nalar, menurut kamus bahasa Indonesia, artinya ; pertimbangan tertentu tentang
baik dan buruk, akal budi, aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir
logis, jangkauan pikir, kekuatan pikir.
Jadi bernalar atau menggunakan
penalaran, artinya berpikir logis. Sedangkan penalaran artinya cara menggunakan
nalar atau pemikiran logis.
Dari pengertian di atas, penulis dapat memberikan contoh konkret yang sering
terjadi dan ditemukan, antara lain ;
- Dalam pengertian aktivitas seseorang berpikir logis.
Contoh
; Hakim tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama menerbitkan putusan sela,
dengan memerintahkan kepada ; Pengadilan Agama, untuk melakukan pemanggilan
kepada Pembanding dan Terbanding, agar supaya hadir pada persidangan di PTA
pada tanggal 23 Maret 2011, guna dimintai keterangannya. Tetapi pada amar
putusan sela yang lain, memerintahkan pula kepada Pengadilan Agama untuk
melakukan sidang di tempat atas obyek sengketa, yang terletak di daerah Jakarta
Selatan, Bandung, Bogor dan Raha,tanpa menyebutkan ketentuan batas waktu.
Pernyataan
ini sesungguhnya tidak memiliki kandungan nalar dan penalaran yang benar,
karena ada dua hal yang tidak masuk akal, yaitu;
a.
Bagaimana mungkin sidang di PTA digelar yang pada intinya, bertujuan untuk
mengetahui secara jelas dan konkret atas obyek sengketa dengan ketentuan waktu
pada tanggal 23 Maret 2011, sementara memerintahkan pula Pengadilan Agama untuk
melakukan sidang pemeriksaan di tempat tanpa menyebut batas waktu dan
adanya pengiriman berita acara hasil pemeriksaan di tempat tersebut ke PTA.
b.
Apa yang mau diperjelas dan konkret pada persidangan di PTA pada tanggal 23
Maret 2011, sementara pemeriksaan setempat oleh PA di beberapa daerah
belum dilakukan.
- Jangkauan pikir.
Contoh
; Seorang hakim dengan giatnya membaca dan belajar serta selalu
mempersiapkan referensi buku-buku hukum, jurnal hukum, baik hukum formal maupun
hukum materiil. Bahkan ia sering melakukan diskusi hukum dan juga rajin membaca
putusan-putusan hakim melalui yurisprudensi, sehingga pada saatnya nanti ia
berharap akan menjadi hakim yang lebih berkualitas dan memiliki integritas
moral yang baik. Hakim seperti ini memiliki nalar dan penalaran yang
mempersiapkan diri secara lebih strategis untuk kepentingan tugasnya di masa
yang akan datang.
- Kekuatan pikir.
Contoh
; Seorang hakim yang mengikuti program studi S2 atau S3 dalam setiap
kegiatan seminar di S2 atau dalam setiap kegiatan di ujian terbuka di program
S3. Dari materi ujian promovendus, ia tidak pernah luput dari pengamatannya,
baik melalui diskusi maupun melalui bentuk penulisan karya ilmiah. Pada saat ia
hadir dalam sebuah seminar, ia dengan mudah memahami substansi materi
pembahasan dan berusaha mengajukan tanggapan ataupun pertanyaan yang sangat
mudah dipahami oleh orang lain. Mahasiswa seperti ini memiliki kemampuan nalar
dan penalaran yang baik untuk menunjang kesuksesan program studinya di masa
yang akan datang.
- Menggunakan nalar atau pemikiran logis.
Contoh
; Seorang pejabat perbankan di persidangan pengadilan negeri dan ia bertindak
sebagai saksi, lalu hakim mencecarnya dengan pertanyaan yang
beruntun. Lalu oleh saksi tersebut, menjawab dengan tenangnya bahwa dirinya
lupa...., lupa...., lupa.... dan seterusnya, bahkan kadang saksi tersebut
mengatakan bahwa dirinya tidak tahu. Hakim yang menyidangkan perkara ini harus
memiliki nalar dan penalaran yang baik, bahwa sangat tidak logis, seorang
saksi mengatakan ; lupa, lupa, lupa atau bahkan tidak tahu, padahal ia berkedudukan
sebagai salah seorang subyek hukum dalam perkara ini. Nalarpun berkata, mana
mungkin para terdakwa yang terdiri dari beberapa orang anggota DPR telah
divonis bersalah karena menerima sejumlah uang suap dan telah dijatuhi
hukuman pidana penjara antara satu sampai dua tahun, kalau tidak ada
orang yang memberi suap. Hakim harus membentuk atau membangun sebuah penalaran
terhadap kemungkinan adanya saksi-saksi yang terlibat memberi suap atas kasus
ini.
Contoh-contoh tersebut merupakan
sebagian fenomena umum yang terjadi di masyarakat dalam berbagai aspek
kehidupan. Dan di sana bisa ditemukan bagaimana fungsi dan manfaat nalar
dan penalaran itu.
III. Proses Nalar dan Penalaran
Proses nalar merupakan proses berpikir yang sistemik untuk memperoleh kesimpulan
berupa pengetahuan. Dari proses bernalar, maka penalaran dibagi atas ;
- Penalaran induktif yaitu proses penalaran untuk menarik kesimpulan dari prinsip/sikap yang berlaku umum berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus (induksi)
- Penalaran deduktif, kebalikan dari penalaran induktif yaitu; menarik kesimpulan dari prinsip/sikap yang berlaku khusus berdasarkan fakta-fakta yang umum (deduktif).
Contoh penalaran deduktif :
Masyarakat
Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan
(khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang
menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status
sosial.
Penalaran juga merupakan aktivitas pikiran yang abstrak, untuk mewujudkannya diperlukan simbol. Simbol atau lambang yang digunakan dalam penalaran berbentuk bahasa, sehingga wujud penalaran akan akan berupa argument. Kesimpulannya adalah pernyataan atau konsep adalah abstrak dengan simbol berupa kata, sedangkan untuk proposisi simbol yang digunakan adalah kalimat (kalimat berita) dan penalaran menggunakan simbol berupa argumen. Argumenlah yang dapat menentukan kebenaran konklusi dari premis.
Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa tiga bentuk pemikiran manusia adalah aktivitas berpikir yang saling berkait. Tidak ada ada proposisi tanpa pengertian dan tidak akan ada penalaran tanpa proposisi. Bersama – sama dengan terbentuknya pengertian perluasannya akan terbentuk pula proposisi dan dari proposisi akan digunakan sebagai premis bagi penalaran. Atau dapat juga dikatakan untuk menalar dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi merupakan hasil dari rangkaian pengertian.
Penalaran juga merupakan aktivitas pikiran yang abstrak, untuk mewujudkannya diperlukan simbol. Simbol atau lambang yang digunakan dalam penalaran berbentuk bahasa, sehingga wujud penalaran akan akan berupa argument. Kesimpulannya adalah pernyataan atau konsep adalah abstrak dengan simbol berupa kata, sedangkan untuk proposisi simbol yang digunakan adalah kalimat (kalimat berita) dan penalaran menggunakan simbol berupa argumen. Argumenlah yang dapat menentukan kebenaran konklusi dari premis.
Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa tiga bentuk pemikiran manusia adalah aktivitas berpikir yang saling berkait. Tidak ada ada proposisi tanpa pengertian dan tidak akan ada penalaran tanpa proposisi. Bersama – sama dengan terbentuknya pengertian perluasannya akan terbentuk pula proposisi dan dari proposisi akan digunakan sebagai premis bagi penalaran. Atau dapat juga dikatakan untuk menalar dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi merupakan hasil dari rangkaian pengertian.
Contoh klasik dari penalaran deduktif:
- Semua manusia pasti mati (premis mayor)
- Sokrates adalah manusia. (premis minor)
- Sokrates pasti mati. (kesimpulan)
Penalaran
deduktif tergantung pada premisnya. Artinya, premis yang salah mungkin akan
membawa kita kepada hasil yang salah dan premis yang tidak tepat juga akan
menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat. Alternatif dari penalaran deduktif adalah
penalaran induktif.
Syarat-syarat
kebenaran dalam penalaran
Jika
seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk menemukan
kebenaran. Kebenaran dapat dicapai jika syarat – syarat dalam menalar dapat
dipenuhi.
- Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah.
- Dalam penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi semua premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar secara formal maupunmaterial. Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat, diturunkan dari aturan – aturan berpikir yang tepat sedangkan material berarti isi atau bahan yang dijadikan sebagai premis tepat.
Dalam proses menulis paragraf dapat
digunakan penalaran deduktif dan penalaran induktif. Paragraf deduktif
menempatkan kalimat utama pada awal paragraf. Sedangkan paragraf induktif
menempatkan kalimat utama pada akhir paragraf.
Penalaran juga dapat digunakan untuk
membuat analogi. Sedangkan yang dimaksud dengan analogi adalah kesimpulan
tentang kebenaran suatu gejala, ditarik berdasarkan pengamatan terhadap
sejumlah gejala khusus yang bersamaan.
Dari isinya analogi dibedakan, atas
;
- Analogi deklaratif, yaitu ; ”Menjelaskan sesuatu yang sudah dikenal berdasarkan persamaannya dengan sesuatu yang sudah dikenal. Analogi jenis ini tidak memberikan pengetahuan baru dan tidak merupakan kesimpulan.
Contoh
; Seharum bunga, seindah warna pelangi.
Adapun analogi deklaratif yang di dalamnya terdapat kesimpulan.
Contoh ; Suami istri di atas mobil. Ketika di dalam mobil, mereka ribut
dengan menggunakan bahasa Inggris dan ketika istri turun dari mobil, ia
menghempaskan pintu mobil dengan kerasnya dan ketika suami masuk rumah, ia
menghempaskan pintu rumahnya dengan keras.
Analogi yang lahir dari kasus ini sebagai bentuk penalaran dan kita bisa
menarik suatu kesimpulan bahwa suami istri itu, sedang dalam kedaan bertengkar
atau telah terjadi perselisihan dan percekcokan.
Analogi seperti ini bisa dijadikan sebagai bukti persangkaan dan merupakan
fakta hukum oleh hakim, bila peristiwa itu telah didukung dengan alat bukti
lainnya, biasanya dengan alat bukti kesaksian dua orang saksi dari pihak yang
mengajukan gugatan.
- Analogi induktif, yaitu menarik kesimpulan tentang fakta yang baru berdasarkan persamaan ciri dengan sesuatu yang sudah pernah terjadi. Kebenaran yang berlaku untuk yang satu (lama) berlaku pula untuk yang lain (baru).
Contoh
; A meminta kepada B untuk mampir sejenak (transit) di rumahnya,
karena menempuh perjalanan KA. Argo Anggrek, sepanjang malam dari Surabaya ke
Jakarta. Karena sesuai pengalaman yang lalu dalam acara yang sama
(Seminar Nasional), A transit di rumah B tersebut. Lalu dijawab oleh B yang
punya rumah di Jakarta itu. Untuk singgah di rumah boleh-boleh saja,
tetapi di rumah saya saat ini banyak orang, karena anak dan cucu-cucu sedang
berlibur di Jakarta.
Analogi yang bisa kita tarik sebagai suatu kesimpulan, bahwa B sebagai
teman A, tidak berkenan untuk disinggahi transit di rumahnya, walaupun terdapat
persamaan antara peristiwa lama dengan peristiwa baru.
IV. Fungsi Penalaran Dalam Ilmu
Fungsi ilmu, menjelaskan, meramalkan
dan mengendalikan. Untuk dapat meramalkan, seorang ilmuwan terlebih dahulu
harus dapat menjelaskan ; apa, mengapa dan bagaimana memecahkan/mengatasi
sebuah permasalahan yang dihadapi. Sehingga semua itu tentu memerlukan sebuah
penalaran.
Jadi penalaran adalah sarana untuk memecahkan dan menemukan sesuatu yang baru dari sebuah masalah, sehingga kita dapat menarik sebuah kesimpulan.
Jadi penalaran adalah sarana untuk memecahkan dan menemukan sesuatu yang baru dari sebuah masalah, sehingga kita dapat menarik sebuah kesimpulan.
Contoh; Nalar seorang penguji, dengan mengajukan pertanyaan antara lain
kepada promovendus yang sedang menempuh ujian terbuka, bahwa ; data
yang Anda kemukakan dalam disertasi ini, apakah masih sesuai dengan naskah
akademik ? Karena promovendus masih mengemukakan data penelitian dari tahun
1996 s.d 1998 [3].
Promovendus menjawab dengan mengemukakan penalaran, bahwa promovendus
sesungguhnya tidak melakukan penelitian berdasarkan data kuantitatif, tetapi
hanya berdasarkan data kualitatif. Jadi data tahun 1996 s.d 1998, tidak terlalu
besar pengaruhnya terhadap penelitian ini, meskipun tahun ini sudah tahun 2011,
sehingga penelitian masih tetap sesuai dengan naskah akademiki (ilmiah).
Seperti diketahui data kualitatif merupakan data yang tidak berbentuk angka,
tetapi lebih banyak berupa narasi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis
atau bentuk-bentuk non angka lain. Hal yang selalu diingat oleh peneliti
adalah, apapun bentuk analisis yang dilakukan, peneliti wajib memonitor dan
melaporkan proses dan prosedur analisisnya sejujurnya dan selengkap mungkin
Adapun yang dimaksud dengan
penalaran ilmiah adalah penalaran yang dilakukan sesuai dengan alur atau pola
penalaran deduktif yang rasional dan penalaran induktif yang empiris.
Sebuah penalaran ilmiah harus didukung dengan ; penemuan dan perumusan masalah,
penyusunan/perumusan hipotesis, pengumpulan data, verifikasi dan penarikan
kesimpulan
Penalaran juga dapat digunakan dalam
membuat silogisme. Silogisme merupakan sebuah bentuk cara berpikir di mana dua
premis/statemen dihubungkan satu sama lain untuk kemudian sampai pada suatu
kesimpulan.
Contoh ;
a.
Semua cendikiawan adalah manusia pemikir
b.
Semua ahli filsafat adalah cendikiawan
c.
Semua ahli filsafat adalah manusia pemikir.
Kesimpulan di atas terdiri dari tiga
term, yaitu ; mayor, minor dan kesimpulan. Term-term inilah yang disebut
proposisi.
Selain itu dikenal pula istilah
”Entimen”, dasarnya adalah silogisme, tetapi salah satu premis dihilangkan atau
tidak diucapkan, karena sama-sama sudah diketahui.
Contoh ; Menipu adalah dosa, karena
merugikan orang lain.
Kalimat di atas dapat dipenggal
menjadi dua, yaitu ;
a.
Menipu adalah dosa
b.
Menipu merugikan orang lain.
Beberapa contoh lain yang
penulis dapat kemukakan sebagai berikut ;
- Bagi seorang guru, sebaiknya memiliki nalar mengupayakan latihan intelektual untuk mengembangkan akal budi anak didik
- Bagi seorang advokat, memiliki nalar bagaimana cara membela kepentingan klinnya di persidangan
- Bagi seorang ekonom, memiliki nalar bagaimana negara memiliki sarana untuk meningkatkan sumber daya manusia dan alam untuk meningkatkan efesiensi, daya guna dan kemaksmuran.
- Bagi seorang ilmuwan, memiliki nalar merancang metode dan percobaan untuk memeriksa hipotesis
- Bagi seorang politikus, memiliki nalar untuk saling menerima dan memberi pendapat untuk membangun sebuah kebersamaan demi kepentingan bangsa dan negara.
- Bagi seorang hakim, memiliki nalar untuk membuat reasoning pertimbangan hukum yang alur dan sistimatis serta menerapkan hukum dengan amar putusan yang tepat dan benar.
V. Beberapa Kekeliruan Dalam
Penalaran
Dalam sebuah penalaran tidak selalu tepat dan
kemungkinan terjadi kekeliruan. Kekeliruan yang biasa terjadi dapat dilihat
dalam bentuk ;
a.
Suatu kesesatan logis, yaitu penalaran yang tidak mengikuti atau melanggar
aturan-aturan penyimpulan.
Contoh
;
Pertimbangan
hukum ; Obyek harta waris ”X” tidak pernah disebutkan dan disengketakan dalam
perkara waris antara penggugat dan tergugat
Amar
putusan ; Hakim, menetapkan obyek harta waris ”X” adalah budel waris dari
almarhum ”A”
b.
Suatu argumen yang tidak terarah dalam arti bahwa argumen itu tidak tepat,
tetapi dapat meyakinkan orang-orang mengenai ketepatannya.
Contoh
;
Pertimbangan
hukum ; Hakim tidak menemukan alat bukti kesaksian saksi-saksi yang melihat,
mendengar atau mengalami adanya perselisihan dan percekcokan antara penggugat
dan tergugat.
Amar putusan ; Hakim menjatuhkan talak satu bain sugra tergugat terhadap
penggugat .
c.
Suatu argumen yang cacat, karena tidak betul, tidak tepat, keliru dan salah, di
mana kesimpulan tidak dibenarkan oleh pernyataan-pernyataan yang mendukungnya.
Contoh
;
Pertimbangan
hukum ; Hakim mempertimbangkan tentang ketidakbenaran pelaksanaan perkawinan
antara penggugat dan tergugat, sehingga perkawinan tersebut harus dibatalkan.
Amar
putusan ; Hakim menjatuhkan amar putusan ; membatalkan Akta nikah antara
penggugat dan tergugat.
Kesimpulan
hakim di sini keliru dan tidak tepat, karena ;
a.
Pertimbangan hukumnya adalah ”batalnya perkawinan”
b.
Amar putusannya ”batalnya Akta nikah”
Kedua
substansi ini berbeda. Batal perkawinan adalah kewenangan Pengadilan Agama.
Sedangkan batal Akta nikah bukan kewenangan Pengadilan Agama.
VI. Macam-macam Kekeliruan Dalam
Penalaran
1.
Kekeliruan amfiboli ; kekeliruan yang terjadi bila kalimat-kalimat seseorang
memungkinkan kata-katanya ditafsir lebih dari satu arti.
Contoh
; “Marzuki Alie kacau dalam berwacana”
Ada
dua tafsir yang mungkin timbul dari kalimat di atas, yaitu ;
a.
Yang kacau adalah Marzuki Alie atau
b.
Yang kacau adalah wacana Marzuki Alie.
2.
Kekeliruan aksen ; kekeliruan yang terjadi bila perkataan dibiarkan berubah
artinya selama argumen berlangsung sebagai akibat derajat tekanan yang
diberikan.
Contoh
; ”Jangan-jangan dia salah paham”.
Penalaran
bisa terjadi tetapi belum tentu benar.
3.
Kekeliruan ekuivokari ; kekeliruan yang dilakukan bila suatu kata digunakan
pertama dalam satu arti dan kemudian dalam arti lain selama argumen
berlangsung, yang memungkinkan sebuah kesimpulan yang sebetulnya tidak mungkin.
Contoh
; ”Bintek (Bimbingan Teknis) yang saya peroleh di pelatihan hakim, sebaiknya
digunakan pula untuk pembinaan administrasi umum”.
Dua
analogi yang tidak mungkin akan terjadi, yaitu ;
a.
Bintek ; menyangkut administrasi perkara dan administrasi peradilan
b.
Binum ; menyangkut administrasi umum, kepegawaian dan keuangan
4.
Kekeliruan komposisi ; kekeliruan yang dilakukan bila kita bernalar dari
sifat-sifat bagian dari suatu keseluruhan ke sifat-sifat keseluruhan itu
sendiri tanpa suatu kualifikasi.
Contoh
; ”Waluyo selaku panitera pengganti, selalu bekerja atas dasar petunjuk
panitera Pengadilan Agama Jakarta Barat ; karyawan lainnya memang tak
pernah bekerja dengan otaknya sendiri”.
Nalar
kita berkata bahwa Waluyo juga adalah karyawan, maka pasti ia tidak
bekerja dengan otaknya sendiri. Tetapi butuh bantuan otak orang lain.
5.
Kekeliruan devisi ; kekeliruan yang dilakukan bila bernalar dari sifat-sifat
suatu keseluruhan ke sifat-sifat bagian-bagiannya.
Contoh
; ”Si A mestinya sudah menjadi hakim agung, karena dia memiliki kemampuan di
segala bidang pengetahuan dan pengalaman”.
Nalar
kita tentu berkata bahwa tidak semua orang yang menjadi hakim agung mempunyai
kemampuan di segala bidang pengetahuan dan pengalaman.
6.
Kekeliruan argumentum ad populum ; kekeliruan yang dilakukan bila suatu
kesimpulan dikemukakan bukan dengan evidensi, tetapi dengan menggunakan bahasa
yang menggugah perasaan.
Contoh
; ”Tuada Uldilag menghimbau kepada hakim-hakim Pengadilan Agama untuk ikut
dalam program studi S3, tetapi pada saatnya reputasi gemilang seorang hakim
tetap menurun, karena lemah pengetahuannya dalam bidang teknis justisial dan
pola bindalmin”.
Nalar
kita berkata, kalau sudah masuk dalam program studi S3 tidak boleh lagi lemah
pengetahuan dalam teknis justisial dan pola bindalmin.
7. Kekeliruan reifikasi atau hipostatisasi ; kekeliruan terjadi
dengan membuat sesuatu dari yang bukan sesuatu dan menarik kesimpulan darinya.
Salah satu bentuknya yang umum adalah personifikasi.
Contoh ; Aneka ragam pertanyaan tim penguji kepada promovendus, menambah
semarak jalannya ujian terbuka tersebut. Mereka berbicara dalam bahasa
filsafat.
Nalar kita berkata, semaraknya ujian terbuka, bukan karena bahasa filsafat,
tetapi ratusan warga Peradilan Agama yang datang berbondong-bondong
memenuhi auditorium UGM, karena yang ujian terbuka adalah Tuada Uldilag.
8. Argumentum ad baculum ( argumen dengan tongkat) ; kekeliruan yang dilakukan
bila seseorang menggunakan kekuasaan atau ancaman guna mendapatkan persetujuan atas
kesimpulan yang dibuatnya.
Contoh
; Kalau ada pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang bertemu
dengan seorang koruptor dan makan bersama di restoran, maka bubarkan saja KPK.
Nalar
kita berkata, apakah kalau ada orang yang jahat dalam sebuah lembaga seperti
KPK, maka KPK harus dibubarkan. Apakah kalau ada hakim yang nakal, maka
dibubarkan saja MA (Mahkamah Agung).
9. Argumentum ad Hominen (argumen tunjuk langsung orang) ;
kekeliruan yang dilakukan bila seseorang mengarahkan
argumennya kepada orang dan bukan kepada pokok masalah.
Contoh
; Memori banding yang dibuat oleh kuasa hukum pembanding, hanya isapan jempol,
karena ia hanya asal bicara saja, dan pandai bersilat lidah.
Nalar
kita berkata, apakah betul memori banding pembanding tersebut, tidak
memiliki sekucil apapun dari segi aspek hukum ?
10. Argumentum ad misericordiam (argumen minta kerahiman) ; kekeliruan yang
dilakukan ketika dimintakan kerahiman seseorang, guna menerima kesimpulan dan
bukan bukti.
Contoh ; Jika diangkat menjadi KPTA, X akan memimpin PTA dengan baik. Dia telah
berkorban banyak dalam membangun PA di daerah ini dan telah berjuang keras
dengan pihak pemerintah daerah.
Nalar kita berkata, apa hubungannya antara jabatan KPTA dengan kontribusi perjuangan
X dengan pemda di daerah tersebut ?
11. Kekeliruan pertanyaan kompleks ; kekeliruan yang dilakukan ketika tidak
diketahui bahwa jawaban untuk suatu pertanyaan tertentu mengandaikan suatu
jawaban sebelumnya untuk pertanyaan sebelumnya.
Contoh ; Adakah sejarahnya PTWP PTA menjuarai Mahkamah Agung Cup ?
Nalar kita berkata, apakah PTWP PTA tidak layak untuk menjadi juara dalam
Mahkamah Agung Cup ?.
12. Kekeliruan hipotesis kompleks ; kekeliruan yang dilakukan, ketika dari dua
hipotesis, diangkat yang lebih kompleks. Padahal hipotesis yang kurang
kompleks, cukup memadai untuk menjelaskan sebuah fakta.
Contoh ; Mengapa PTA harus memanggil hakim-hakim PA, bila ditemukan ada
kekeliruan/kesalahan (satu hipotesis) dalam putusannya. Putus sela saja untuk
pemeriksaan tambahan sesuai kewenangannya (satu hipotesis).
Nalar kita berkata, apakah PTA hanya memiliki fungsi justisial. Bukankah PTA
memiliki pula fungsi pembinaan ?.
13. Kekeliruan hitam putih ; kekeliruan ini dilakukan ketika kita diberitahu
untuk memilih antara dua alternatif dan tidak dipedulikan alternatif lainnya,
padahal masih ada alternatif lain yang bisa dilakukan.
Contoh ; Anda memilih karir untuk diangkat sebagai KPA di luar Jawa atau tetap
akan melanjutkan kuliah S3 di Unisba ?
Nalar kita berkata, apakah tidak ada kemungkinan saya diangkat menjadi KPA di
daerah Jawa Barat atau saya diangkat sebagai KPA yang ada program S3
untuk sekolah yang lain .
14. Kekeliruan argumen spekulatif ; kekeliruan yang terjadi dengan mengangkat
sebuah hipotesis yang berlawanan dengan fakta, dan kemudian mengatakan benar
apa yang menjadi kesimpulannya.
Contoh ; Kalau mau efektif pemberantasan korupsi di Indonesia, maafkan koruptor
atau putihkan kasus-kasus korupsi, kembalikan uang negara dan bayar pajak dari
uang korupsi itu.
Nalar kita berkata, apa betul dengan cara itu, pemberantasan korupsi bisa
diatasi secara efektif ? Apakah koruptor tidak bertepuk tangan dan tertawa
terbahak-bahak ?.
15. Kekeliruan contradictio in adjecto ; kekeliruan yang dilakukan bila sebuah
sifat tidak konsisten dengan kata benda yang diterangkannya.
Contoh ; Semua hakim pengadilan, nakal.
Nalar kita berkata, apakah tidak ada hakim pengadilan yang tidak nakal.
Tentu yang nakal hanya oknum tertentu saja.
Dari beberapa contoh argumen yang keliru di atas, menyebabkan
lahirnya penalaran yang keliru dan pada akhirnya akan
melahirkan pula kesimpulan yang keliru. Kiranya sebagai warga pengadilan,
terutama hakim sedapat mungkin terhindar dari nalar dan penalaran yang keliru,
terutama dalam membuat reasoning pertimbangan hukum. Dan ketika hakim tingkat
pertama salah dalam penalaran hukum, maka hakim tingkat banding berkewajiban
meluruskan atau membenarkan penalaran hukum yang keliru itu. Demikian pula
hakim agung, wajib hukumnya untuk meluruskan penalaran yang keliru yang terjadi
di peradilan di bawahnya, sebab sesuai praktek di persidangan, hakim salah
dalam menerapkan hukum pada umumnya disebabkan karena salah dalam mengemukakan
argumentasi hukum dalam nalar dan penalaran.
VII. Penalaran Dalam Pertimbangan
Hukum
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, penalaran merupakan suatu proses berpikir
logis, artinya berpikir menggunakan cara atau metode tertentu yaitu logika.
Pada dasarnya penalaran hukum merupakan kegiatan berpikir problematis[7],
sehingga kegiatan berpikir berada dalam wilayah penalaran praktis. Sebagai
contoh ; hakim pada saat bersidang menggunakan hukum acara, pada saat ini hakim
selalu berusaha sesuai dengan hukum formal dan pada saat yang sama, ia selalu
berpikir problematis dan menggunakan penalaran praktis. Demikian pula ketika
hakim akan menerapkan hukum materiil, pada saat ini hakim pun selalu berusaha
menggunakan ketentuan hukum yang tepat pada kasus tersebut. Di sini pun
hakim selalu berpikir problematis dan harus menggunakan penalaran praktis.
Studi penalaran hukum atau argumentasi yuridis yang berintikan hubungan antara
hukum dan logika, mulai berkembang pada tahun 1980-an dan memperoleh perhatian
besar tahun 1990-an. Menurut Sudikno Mertokusumo, seorang sarjana hukum
khususnya hakim, selayaknya menguasai kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the
power of solving legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan utama,
yakni : Merumuskan, masalah hukum (legal problem identification), memecahkannya
(legal problem solving),dan terakhir mengambil keputusan.
Menurut Kenneth J. Vandevelde, secara epistimologis penalaran hukum terdiri
dari lima langkah, yaitu ;
1.Mengidentifikasi sumber hukum yang
mungkin, biasanya berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify
the applicable sources of law)
2. Menganalisis sumber hukum
tersebut untuk menerapkan aturan hokum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan
tersebut (analyze the souces of law)
3. Mensintesiskan aturan hukum
tersebut ke dalam struktur yang koheran, yakni strktur yang mengelompokkan
aturan-aturan khusus di bawah aturan umum (synthesize the applicable rules
of law in to a coherent structure)
4. Menelaah fakta-fakta yang
tersedia (research the available facts)
5. Menerapkan struktur aturan
tersebut kepada fakta-fakta untuk memastikan hak atau kewajiban yang timbul
dari fakta-fakta itu dengan menggunakan kebijakan yang terletak dalam
aturan-aturan hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply the
structure of rules to the facts)
Dari uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa penalaran hukum merupakan
keseluruhan tahapan berpikir dari ; identifikasi perkara, aturan hukum,
pengujian dengan teori kebenaran serta membuat formulasi konklusi dan solusi.
Penalaran hukum digunakan sebagai alat menyusun argumen-argumen pada
pertimbangan hukum putusan. Argumen-argumen tersebut menggiring alur pikir yang
dibangun hakim untuk menjatuhkan putusan, sebagaimana yang tertuang dalam amar
putusan. Penerapan penalaran hukum dalam pertimbangan hukum dapat
membimbing para pencari keadilan untuk mengetahui, memahami pemikiran dan
pendapat hakim dalam memutus perkara
Dengan penalaran yang benar, suatu pertimbangan hukum putusan dapat diketahui
logika berpikir yang digunakan hakim untuk membuktikan benar tidaknya suatu
peristiwa atau suatu dalil gugat. Sebaliknya pertimbangan hukum yang tidak
menggunakan penalaran yang benar, dapat membingungkan pencari keadilan dalam
memahami putusan pengadilan. Pemikiran dapat dikatakan tepat, jika jalan
pikiran sesuai dengan keteraturan berpikir, sebagaimana disebutkan dalam
logika. Ukuran pemikiran yang benar bukan karena rasa senang dan enak didengar
atau tidak, melainkan sesuai dengan fakta yang ada.
Syarat pokok suatu penalaran yang dapat menghasilkan kesimpulan yang benar,
adalah pemikiran harus berpangkal dari teori atau kenyataan serta titik
pangkalnya harus benar, alasan-alasan yang diajukan harus tepat dan kuat dan
jalan pikiran harus logis.
Penerapan penalaran induktif dan deduktif seorang hakim dalam pertimbangan
hukum, terhadap suatu putusan tidak dapat dipisahkan. Keduanya sangat berperan
dalam proses mencari dan menarik kesimpulan yang benar. Secara teoritis,
penalaran deduktif bertolak dari aturan hukum yang berlaku pada kasus
individual secara konkret dan digunakan untuk mendapatkan kesimpulan dari hal
yang bersifat umum kepada kasus yang bersifat individual. Pada tahap menggali
fakta hukum dengan memeriksa surat-surat bukti ataupun saksi-saksi yang
diajukan di persidangan. Ketika hakim mempertimbangkan dalam pertimbangan
hukumnya, bahwa berdasarkan surat-surat bukti dan keterangan saksi-saksi
Penggugat atau Tergugat yang dihubungkan dengan dalil-dali Penggugat atau
sangkalan Tergugat, kesemuanya telah bersesuaian satu sama lain dan
menyimpulkan bahwa pasal-pasal yang dijadikan dasar hukum telah terpenuhi,
adalah menggunakan penalaran induktif. Dalam hal pertimbangan hukum, hakim
menyatakan bahwa dengan demikian dalil gugatan Penggugat dapat dikabulkan atau
ditolak, adalah menggunakan penalaran deduktif.
VIII. Argumentasi Dalam Pertimbangan
Hukum
Esensi argumentasi dalam pertimbangan hukum, merupakan alasan dan dasar bagi
hakim dalam menjatuhkan putusannya, baik karena menggunakan pendekatan
normatif, yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maupun
karena sifatnya sosiologis (pendekatan kemanfaatan) dan sifatnya folosofis
(pendekatan keadilan). Menurut Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 ;
”Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat
pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
Argumentasi hukum merupakan jenis penalaran yang melibatkan proses intelektual
insan hukum dalam menjustifikasi rasionalita, konsistensi logika dan
konsistensi doktrinal untuk mencapai kesimpulan dalam memutuskan suatu problem
permasalahan (perkara). Argumentasi hukum yang rasional (Drie niveaus van
rationale juridische argumentatie), terdiri dari tiga lapisan antara lain ;
1. Lapisan logika, lapisan ini
merupakan struktur intern dari suatu argumentasi, juga bagian dari logika
tradisional. Isu yang muncul berkaitan dengan premis-premis yang digunakan
dalam menarik suatu kesimpulan logis dan langkah dalam menarik kesimpulan,
misalnya deduksi dan analogi
2. Lapisan dialektik, lapisan ini membandingkan
argumentasi pro dan argumentasi yang kontra. Ada dua pihak yang berdialog atau
berdebat, yang bisa saja pada akhirnya tidak menemukan jawaban karena sama-sama
kuatnya.
3. Lapisan prosedural (struktur,
acara penyelesaian sengketa) ; Prosedur tidak hanya mengatur perdebatan, tetapi
perdebatan itupun menentukan prosedur. Suatu aturan dialog harus berdasarkan
pada aturan main yang sudah ditetapkan dengan syarat-syarat prosedur yang
rasional dan syarat penyelesaian sengketa yang jelas. Dengan demikian terdapat
saling keterkaitan antara lapisan dialektik dan lapisan prosedural.
Menurut Bernard Arief Sidharta, argumentasi hukum terdiri dari unsur discourse
hukum, retorika hukum dan logika hukum, sehingga melibatkan penerapan
perangkat kaidah logika formal dan metode pemaparan jalan pikiran yang lain.
Ada beberapa sebab kegagalan argumen, antara lain ;
1. Memuat premis (pernyataan) dari
proposisi yang keliru. Jika premis keliru, argumen tersebut akan gagal dalam
menetapkan kesimpulan
2. Kegagalan dapat terjadi karena
argumen ternyata memuat premis-premis yang tidak berhubungan dengan penarikan
kesimpulan
3. Penalaran yang disebabkan karena
kecerobohan dan kurangnya perhatian orang terhadap pokok persoalan yang terkait.
Oleh karena itu dalam menyajikan argumentasi hukum sebagai manifestasi
pertanggungjawaban, argumentasi disusun dengan menggunakan penalaran hukum,
baik secara deduktif maupun induktif. Jadi pada awalnya hakim itu mutlak
menggunakan penalaran deduktif, yaitu dengan memuat pasal-pasal sebagai dasar
putusan. Selanjutnya ia menggunakan lagi penalaran induktif dengan memaparkan
pokok-pokok kejadian konkret dan disusun secara sistematis, sehingga memberikan
gambaran kejadian yang sebenarnya.
Tahap berikutnya hakim menggabungkan penalaran deduktif dan induktif dengan
mendasarkan berbagai teori hukum yang relevan. Dengan mendasarkan pada
teori-teori yang relevan dan rasional, argumentasi hukum yang dikemukakan
secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kesimpulan yang
didasarkan pada argumentasi hukum yang tepat ini dinamakan pendapat hakim dalam
putusan. Jika pertimbangan hukum telah dibuat dan dilakukan analisis dengan
menggunakan metodologi yang tepat, sehingga putusan dapat dipertanggungjawabkan
secara yuridis.
IX. Sistimatika Pertimbangan Hukum
Pertimbangan hukum pada esensinya merupakan pertanggungjawaban yuridis atas
perkara yang disidangkan oleh hakim dengan mempertimbangkan berbagai aspek.
Sebagai pertanggungjawaban, pertimbangan hukum harus disajikan secara alur dan
runtut serta intedependensi, artinyaharus sistimatis dan kronologis.Jadi
semua kerangka penalaran reasoning yang terurai dalam pertimbangan hukum
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Maksud dan
tujuan mensistematisir pertimbangan hukum, agar para pencari keadilan mudah
memahami isi putusan tersebut. Kedudukan pertimbangan hukum, merupakan bagian
putusan yang paling penting dan menentukan. Secara substansial memuat uji
korelasi dan penilaian majelis hakim terhadap perkara yang disidangkan dengan
menggunakan penalaran hukum yang benar dan tepat.
Uraian sistematika pertimbangan hukum, banyak referensi yang bisa dijadikan
acuan, antara lain misalnya oleh ; Prof. Paulus Latulung, Ellyana Tansah,
L.J. Ferdinandus, M. Taufiq dan lain-lain. Namun yang sangat sederhana dan
mudah dipahami, seperti yang telah diuraikan oleh M. Taufiq, dalam
bukunya yang berjudul ”Meningkatkan Mutu Keputusan Peradilan Agama”, yang pada
pokoknya memberikan uraian sebagai berikut ;
1. Dalil gugatan Penggugat dalam
surat gugatan, merupakan informasi dari Penggugat dan jawaban Tergugat juga
merupakan informasi dari Tergugat, yang biasa disebut dengan fakta
biasa.
2. Dalil gugatan Penggugat yang
diakui oleh Tergugat bukan merupakan pokok masalah, sehingga tidak perlu
dipertimbangkan lebih lanjut sebagai suatu sengketa
3. Dalil gugatan Penggugat yang
dibantah oleh Tergugat, merupakan pokok masalah, sehingga harus dipertimbangkan
lebih lanjut sebagai suatu sengketa
4. Rumusan pokok masalah tersebut
harus ditentukan lebih awal, dalam suatu bentuk kalimat yang singkat,
sederhana dan konkret. Biasanya menggunakan kalimat tanya, namun bisa pula
tidak menggunakan kalimat tanya.
5. Pokok masalah tersebut ; harus
disertai dan dengan diuji dengan alat bukti-alat bukti yang diajukan oleh para
pihak di persidangan
6. alat bukti-alat bukti yang
diajukan itu ; berdasarkan pembebanan pembuktian oleh hakim kepada para pihak
yang berperkara.
7. Berdasarkan alat bukti-alat bukti
tersebut ; ada dua kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu ;
a. Memperkuat atau memperlemah dalil
gugatan
b. Memperkuat atau memperlemah
dalil-dali sangkalan.
Dan itulah merupakan fakta hukum di
persidangan
8. Fakta hukum itu ; lahir dari
nilai alat bukti yang terungkap di persidangan
9. Penerapan hukum ; bersumber
dari peraturan perundang-undangan yang berlaku ataupun sumber-sumber hukum
lainnya yang diambil oleh hakim, dengan berdasar pada fakta-fakta hukum
10. Amar putusan ; merupakan jawaban
dari petitum yang dijatuhkan oleh hakim, berdasar pada penerapan hukum
yang ada.
Bagaimana halnya, jika Tergugat tidak pernah hadir di persidangan dan tidak
mengajukan tanggapan ataupun jawaban, sehingga hakim sulit untuk merumuskan
pokok masalah. Dalam situasi seperti ini, bukan pokok masalah yang dirumuskan,
tetapi yang dirumuskan adalah pokok gugatan yang sudah tentu dimaksudkan dalam
rangka persiapan kemungkinan dijatuhkannya putusan verstek. Sebagaimana
diketahui yang dimaksud dengan pokok gugatan adalah rumusan atau resume dari
uraian posita dan petitum dalam surat gugatan. Sedangkan yang dimaksud dengan
pokok masalah adalah hasil rumusan dari gugatan dan sangkalan atau
bantahan gugatan dalam pokok perkara.
X. Amar Putusan
Esensi amar putusan adalah merupakan jawaban hakim atas petitum Penggugat atau
jawaban atas petitum Tergugat, baik yang diajukan dalam gugat pokok perkara,
maupun yang diajukan dalam jawaban, eksepsi ataupun rekonvensi. Substansi amar
putusan merupakan perintah atau pernyataan sikap hakim dalam mengadili dan
memutus perkara yang diajukan kepadanya. Sehingga apabila petitum gugatan
Penggugat didukung dengan posita gugatannya, maka amar putusan hakim harus
mengabulkan gugatan tersebut. Sebaliknya apabila suatu petitum tidak didukung
oleh positanya, maka amar putusan harus dinyatakan N.O (tidak diterima).
Setiap amar putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus jelas, tegas dan konkret,
jangan sampai mengandung multi tafsir, sehingga menimbulkan interpretasi dan
masalah baru, yang pada akhirnya para pihak yang berperkara tidak menemukan
kepastian hukum dan rasa kadilan.
Apabila ada petitum gugatan, sebagian dikabulkan dan sebagian dinyatakan tidak
dapat diterima serta yang lainnya ditolak, maka dalam amar putusan harus jelas
; petitum mana yang dikabulkan, petitum mana yang tidak diterima dan
petitum mana yang ditolak. Sehingga penulisan amar putusan harus dituangkan
secara lengkap. Hanya dengan cara seperti itu para pihak yang berperkara tidak
bingung dan tidak menggunakan penalaran hukum yang keliru.
XI. Penutup
Begitu pentingnya sebuah penalaran, termasuk penalaran hukum. Maka tidak
satupun orang terlepas dari fungsi dan penggunaan penalaran, baik di kalangan
hakim, advokat ataupun masyarakat pencari keadilan pada umumnya. Dan dalam
penggunaan penalaran hukum itu, hakim atau penegak hukum lainnya kadang-kadang
memang sering ditemukan salah dalam menggunakan argumentasi hukum dan logika
hukum. Sehingga timbul penafsiran hukum yang keliru. Kekeliruan itu bisa teratasi
melalui pembelajaran, baik secara foramal maupun informal, bahkan mungkin bisa
didapat melalui pengalaman masing-masing. Itulah sebabnya sistem pembinaan
karir hakim yang tepat, bila dilakukan rotasi dan mutasi hakim dari satu tempat
ke tempat yang lain, artinya dari kelas pengadilan yang lebih rendah ke kelas
pengadilan yang lebih tinggi. Ini artinya memberi kesempatan kepada hakim yang
bersangkutan untuk menambah pengalamannya dalam berkarir di lingkungan
peradilan.
Keliru memang bila sistem pembinaan
karir hakim ; ada hakim yang diberi tugas sejak ia menjadi hakim
rendahan sampai ia menjadi hakim tinggi, hanya bertugas di satu tempat tertentu
dan tidak pernah dimutasi ke tempat lain, karena hakim seperti ini dapat
dipastikan akan kurang pengalaman dan kurang pula pengetahuan. Mereka akan
sadar dan merasakan betapa kekurangan itu pada saatnya nanti. Namun bila waktu
telah berlalu, tidak akan mungkin akan kembali lagi.